Foto: Ist - HD
Jakarta, HD-Komisi Pemberantasan Koupsi (KPK) meyakini dapat menjerat petinggi Lippo
Grup, Eddy Sindoro meskipun ia berada di luar negeri. Ia selaku
Presiden Komisaris Lippo Group diduga terlibat dalam kasus suap yang
menjerat mantan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) Edy
Nasution.
Dalam sidang tuntutan di pengadilan Tipikor Jakarta,
Senin (21/11/2016), Edy Nasution dituntut delapan tahun penjara ditambah
denda Rp300 juta subsider lima bulan kurungan karena menerima Rp1,5
miliar, Rp100 juta, 50 ribu dolar AS, dan Rp50 juta terkait pengurusan
sejumlah perkara anak perusahaan Lippo Grup di PN Jakpus.
Dalam
tuntutan, uang tersebut disebut merupakan inisiatif dari Eddy Sindoro
selaku Presiden Komisaris Lippo Group yang membawahi beberapa anak
perusahaan di antaranya PT Jakarta Baru Cosmoplitan (JBC) dan Paramount
Enterprise Internasional) dengan Evan Adi Nugroho selaku Direktur, PT
Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dengan Hery Soegiarto sebagai direktur,
dan PT Across Asia Limited (AAL) yang menghadapi permasalah hukum pada
peradilan tingkat pertama di antaranya PN Jakpus hingga tingkat kasasi
di Mahkamah Agung RI.
Namun, hingga saat ini KPK belum bisa
menghadirkan Eddy Sindoro untuk diperiksa sebagai saksi, baik di tingkat
penyidikan maupun penuntutan. Akan tetapi, komisi antirasuah tetap
optimistis dapat menjerat yang bersangkutan.
“Ya tetap
diupayakan, upaya [penetapan tersangka] tentu akan ke sana, jadi tim
penyidik yang bicara,” kata Jaksa Penuntut Umum KPK Dzakiyul Fikri di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, seperti dikutip Antara.
Dzakiyul
menyampaikan hal itu seusai sidang pembacaan tuntutan terhadap mantan
panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution.
Selain
itu, Dzakiyul juga mengungkapkan bahwa peran Nurhadi juga akan diungkap.
"Tentang yang bersangkutan, kan juga banyak disebut dalam dakwaan, ya
mungkin setelah perkara ini nanti lebih diungkap," tambah Dzakiyul.
Edy
Nasution dituntut berdasarkan Pasal 12 huruf a UU No. 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat 1 KUHP sebagaimana
dakwaan kesatu pertama dan Pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Dalam dakwaan pertama terdapat empat penerimaan
uang. Penerimaan pertama, Edy menerima Rp1,5 miliar untuk revisi
penolakan permohonan eksekusi tanah PT JBC agar Edy melakukan pengurusan
perubahan redaksional (revisi) surat jawaban dari PN Jakarta Pusat
untuk menolak permohonan eksekusi lanjutan dari ahli waris berdasarkan
putusan Raat Van Justitie Nomor 232/1937 tanggal 12 Juli 1940 atas tanah
lokasi di Tangerang dan tidak mengirimkan surat tersebut kepada pihak
pemohon eksekusi lanjutan.
Karena setelah beberapa waktu tidak
ditindaklanjuti Edy maka Wresti melaporkan kepada Eddy Sindoro dan
meminta untuk membuat surat memo yang ditujukan kepada promotor, yaitu
Nurhadi selaku Sekretaris MA RI, guna membantu pengurusannya, setelah
itu Edy menghubungi Wresti dan menyampaikan bahwa dalam rangka
pengurusan penolakan atas permohonan eksekusi lanjutan atas arahan
Nurhadi agar disediakan uang sebesar Rp3 miliar. Terhadap permintaan
uang itu, Eddy Sindoro pun hanya menyanggupi pemberian uang Rp1,5
miliar.
Uang diserahkan pada 26 Oktober 2015 di Hotel Acacia dalam mata uang dolar Singapura dalam amplop cokelat besar.
Penerimaan
kedua adalah uang Rp100 juta untuk pengurusan penundaan teguran
aanmaning perkara niaga PT MTP untuk pengurusan penundaan teguran
aanmaning perkara niaga PT MTP melawan Kymco melalui PN Jakpus sesuai
putusan Singapura International Arbitration Centre (SIAC) yang
diharuskan membayar ganti rugi sebesar 11.100 dolar AS.
Uang Rp100 juta diantarkan oleh Dpddy kepada Edy pada 17 Desember 2016 di Hotel Acacia pukul 09.13 WIB.
Penerimaan
ketiga adalah uang 50 ribu dolar AS untuk pengurusan pengajuan
Peninjauan Kembali (PK) PT AAL yang diputus kasasi sudah pailit melawan
PT First Media Tbk pada 31 Juli 2013 dengan salinan dikirim pada 7
Agustus 2015, namun hingga batas waktu yang telah ditentukan UU, PT AAL
tidak mengajukan upaya hukum.
Edy menerima uang dari salah satu
kuasa hukum yang baru dari Law Firm Cakra & Co yaitu Austriadhy 50
ribu dolar AS yang terbungkus dalam amplop warna cokelat
Terakhir penerimaan Rp50 juta untuk pengurusan perkara lain pada 20 April di Hotel Acacia.
Sedangkan
dalam dakwaan kedua, jaksa menilai bahwa Edy terbukti menerima
gratifikasi senilai Rp10,35 juta, 70 ribu dolar AS, dan 9.852 dolar
Singapura dan tidak dilaporkan ke KPK.
Atas tuntutan itu, Edy akan mengajukan nota pembelaan (pledoi) pada 30 November 2016.
Terkait
perkara ini, Doddy Aryanto Supeno sudah divonis penjara selama empat
tahun ditambah denda Rp150 juta subsider tiga bulan kurungan, sedangkan
KPK juga sedang melakukan penyelidikan untuk Nurhadi.(HD-Wulan)