Foto: Ist-HD
MAKASAR, HD-Ia hanya ibu rumah tangga biasa di Makasar. Ia senang berbagai
cerita dan kabar melalui akun Facebook pribadinya. Hari-harinya berjalan
biasa seperti ibu-ibu rumah tangga yang lain. Tapi, mendadak ia menjadi
terkenal karena status yang ia unggah pada 14 Maret lalu.
Yusniar,
27 tahun, sedang merasak sebal yang sangat. Di statusnya, ia bercerita
tentang rumah orangtuanya yang didatangi 100 orang lalu dirubuhkan atas
perintah seorang anggota DPRD.
Singkat cerita, insiden pada 13
Maret itu berhasil dikendalikan petugas dari Polres Tamale yang datang
ke lokasi. Biar pun begitu, beberapa sudut dinding dan atap rumah
terlanjur rusak akibat dihantam balok dan linggis oleh massa.
Dalam
bahasa Makasar Yusniar menulis, "Alhamdulillah. Akhirnya selesai juga
masalahnya. Anggota DPR t*lo, pengacara t*lo. Mau nabantu orang yang
bersalah, nyata-nyatanya tanahnya ortuku pergiko ganggui Poeng.”
Tak
dinyana, ada anggota DPRD yang tersinggung dengan status yang
dituliskan Yusniar. Meskipun tak berteman di Facebook, Sudirman Sijaya
merasa tersinggung. Ia pun melaporkan Yusniar ke kepolisian berdasar 27
ayat 3 UU ITE dengan tuduhan pencemaran nama baik. Ia resmi ditahan 24
Oktober lalu, dan disidangkan pertama kali 2 November kemarin.
Yusniar bukan lagi orang biasa. Ia dibicarakan oleh sejumlah kalangan. Ia kini ia masuk daftar korban pasal karet.
Yusniar
tidak sendiri. Dikutip dari CNN, menurut data yang dikumpulkan LSM
Southeast Asia Fredom of Expression Network (SafeNet) ada 69 kasus UU
ITE dari tahun 2008 hingga 2014. Dengan wilayah cakupan penyebaran
wilayah Aceh sampai Makassar.
Itu baru dari satu pasal karet.
Pasal-pasal lentur itu bukan hanya perkara pencemaran nama baik.
Pasal-pasal lentur itu bahkan sudah ekssis sejak republik ini lahir.
Yang paling uzur adalah pasal karet tentang penghinaan kepala negara.
KUHP—yang
diadopsi dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie yang
disusun pemerintah kolonial Hindia Belanda—memuat Buku II Kejahatan Bab
II tentang Kejahatan-kejahatan terhadap Martabat Presiden dan Wakil
Presiden. Ini merupakan adaptasi dari peraturan pemerintah Belanda yang
melarang warganya mencemooh Ratu mereka.
Tapi pasal karet satu
ini sudah hilang. Diperjuangkan oleh para aktivis dan pegiat masyarakat
sipil, dan tentu saja setelah memakan sejumlah korban, Mahkamah
Konstitusi akhirnya menghapus pasal itu dalam KUHP pada 4 Desember 2006
lalu. MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa
menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan
manipulasi. Permohonan judicial review itu diajukan oleh Eggi Sudjana
dan Pandapotan Lubis, dua orang aktivis yang justru sempat dijerat dalam
bui oleh pasal karet satu ini.
Namun, pasal-pasal lentur
terkait kepala negara kembali hangat diperbincangkan karena Jokowi
mencoba menghidupkan kembali pasal ini dengan mengajukannya dalam revisi
KUHP pada Agustus lalu. Sampai sekarang, RUU KUHP ini masih menggantung
di DPR.
Situasi terakhir justru pengaktifan pasal-pasal karet
banyak dianjurkan oleh masyarakat sipil sendiri. Kontestasi politik
pasca Pilpres 2014 yang masih berlanjut dampaknya, membuat polarisasi
kubu di wilayah massa masih berjalan. Serangan personal kepada
tokoh-tokoh politik, terutama Jokowi sebagai presiden, terus berlanjut.
Terkait
Aksi 4 November kemarin, kecaman-kecaman kepada Jokowi yang dilakukan
secara verbal oleh banyak orang justru direspons dengan keras oleh para
pendukung Jokowi. Banyak yang meminta agar orang-orang itu ditangkap
oleh kepolisian karena dianggap telah menghina kepala negara.
Agak
menyedihkan, memang. Belum terlalu lama pegiat masyarakat sipil
mengusahakan agar pasal-pasal karet terkait penghinaan kepala negara,
atau simbol-simbol negara, dihapuskan dari Undang-Undang karena dianggap
represif dan kelewat lentur. Kini malah masyarakat sipil sendiri yang
justru “menggoda” kepala negara untuk menghukum orang-orang dengan pasal
karet itu.Pasal karet lain yang sudah tiada tapi lumayan lama hidup di negeri ini
adalah delik perbuatan tidak menyenangkan. Ia termaktub dalam Pasal 335
ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1946 yang baru berhasil dihapus oleh MK, Januari
2014 lalu. Tentu sudah ada korban. Salah satunya, Oei Alimin Sukamto
Wijaya, yang menjadi tersangka karena pasal karet ini. Ia pula yang
mengajukan uji materi atas pasal ini sehingga dihapuskan oleh MK.
Dalam
buku Kesadaran Nasional: dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan, Profesor
Universitas Indonesia Slamet Muljana menyebut pasal karet sebagai
senjata politik warisan kolonial Belanda. Pasal-pasal multitafsir memang
sengaja diciptakan untuk menjerat aktivis kemerdekaan Indonesia.
Di
era ini, tak jarang pasal karet dikenakan sebagai senjata pamungkas
untuk membungkam banyak orang. Salah satu pasal karet yang paling
gampang menimbulkan gempar dan sukar melepaskan tersangkanya dari
jeratan bui adalah pasal penistaan agama.
Kasus paling anyar
menimpa Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur DKI Jakarta, yang maju kembali
dalam Pilgub DKI 2017. Posisi Ahok yang awalnya unggul dalam banyak
poling mulai tergerus karena isu ini. Terlepas dari kisah Ahok yang
masih berjalan, pasal penistaan agama sendiri adalah salah satu pasal
karet yang cukup tinggi penggunaannya di dunia menurut laporan Pew
Research.
Di negara-negara mayoritas penduduk muslim, tak jarang
pasal penistaan agama bahkan merenggut nyawa-nyawa tersangkanya.
Misalnya, di Pakistan sejak 1987-2014, ada lebih 1.300 yang dituduh
melakukan penistaan agama, dan lebih dari 60-nya telah dihukum mati.
Untuk itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui penyidik khususnya bidang
kebebasan agama atau kepercayaan menyerukan penghapusan undang-undang
penistaan agama secara universal.
PBB menilai pasal-pasal
demikian justru membatasi kebebasan menyatakan pendapat serta lebih
parahnya, meningkatkan intoleransi terhadap agama-agama minoritas.
Pasal
karet yang tak kalah mencengangkan ialah soal dukun santet. Sejak 1998
hingga 2016 di Indonesia, dari data yang dihimpun tim riset Tirto, ada
lebih 150 orang yang dibunuh massa karena dituding dukun santet. Padahal
tidak terlalu jelas bagaimana membuktikan seseorang memiliki kekuatan
gaib. Pembuktiannya sulit, setidaknya sama sulitnya seperti membuktikan
bahwa gaib itu nyata.
Hebatnya lagi, Indonesia dengan gagah
berani memasukkan perkara gaib ini ke dalam RUU KUHAP yang sedang
digodok. Sehingga menimbulkan kesan kalau negara memfasilitasi
penghakiman yang dilakukan untuk mereka yang dianggap dukun santet.
Sejatinya,
konstitusi diciptakan untuk membatasai kekuasaan pemerintah dan
menjamin hak-hak dasar warga negara, seperti hak berkeyakinan,
berpendapat, dan berserikat. Bukan malah menciptakan pasal-pasal karet
yang siap menjepret siapa saja.
Ya, menjepret siapa saja. Namanya
juga karet: lentur, dapat ditarik ke mana-mana. Kali ini si A yang
mengusulkan si B dihukum dengan pasal karet, besok-besok siapa tahu si A
pula yang kena jepret ketika situasi politik telah berubah dan rezim
telah berganti. (HD-Wulan)