Foto:Ist,HD
MENGAGETKAN. Donald Trump menang dalam pilpres AS tahun
ini. Ia telah menyampaikan pidato kemenangannya secara lebih kalem.
Prediksi-prediksi yang melihat peluang kemenangan Hillary Clinton lebih
besar pun lewat sudah. Hillary pun telah memberi ucapan selamat.
Meskipun
banyak yang kecewa dan khawatir, kemenangan Trump merupakan buah
demokrasi. Masyarakat internasional harus menghargainya dan segera
menyesuaikan dengan perkembangan baru tersebut.
Fenomena Trump
menggambarkan kemenangan populisme politik di AS. Ragam ulasan
mengenainya telah menyertai kehadiran Trump dalam kontestasi pilpres.
Di
Majalah Foreign Affair Edisi November-Desember 2016, komentator
politik kenamaan Farid Zakaria mengulas fenomena populisme Trump sebagai
sosok yang berbeda, yang menurut Newt Gingrich, ”unik, luar biasa
pengalamannya.”
Trump termasuk selebriti yang ”luwes dengan kenyataan”. Sosoknya nyentrik (unusual).
Di AS, catat Michael Kazin di majalah yang sama, populisme politik
terkait dengan sejarahnya yang panjang. Trump tergolong ”populis yang
tak disukai”, kendatipun ia sekadar menyuguhkan ”anggur lama” ke dalam
”botol baru”.
Tak hanya menyangkut karakter sosok,
ketidaklaziman Trump ditunjukkan pula dalam aneka kampanyenya yang
kontroversial. Trump suka menyerempet isu sensitif yang membuat
kelompok-kelompok tertentu jengah. Banyak yang menolak
lontaran-lontarannya yang cenderung ”anti-imigran” dan ”diskriminatif”,
tetapi pemilih mengambang yang selama ini lebih banyak diam rupanya suka
dengan isu-isu populis semacam itu.
Kini, populisme politik tak
terelakkan lagi di AS setelah fenomena seperti ini marak
diperbincangkan dengan mengambil contoh kasus kehadirannya di Eropa,
Amerika Latin, hingga Asia, termasuk Asia Tenggara, bahkan Indonesia dan
Filipina. Kemenangan Trump seolah menandai gelombang populisme politik
di abad kita.
Zakaria melihat populisme sebagai sesuatu yang
berbeda dari kelaziman politik arus utama. Ada ciri kecurigaan dan
permusuhan terhadap elite dan lembaga politik arus utama. Populisme
melihat dirinya berbicara untuk orang biasa yang dilupakan. Juga sering
membayangkan dirinya sebagai representasi patriotisme asli.
Trump
misalnya pernah menulis di The Wall Street Journal (April 2016) bahwa
satu-satunya penangkal terhadap ”dekade kehancuran pemerintahan yang
dikendalikan oleh segelintir kecil elite” adalah dengan keberaniannya
menyuntikkan ”kehendak rakyat”. Trump mengkritik negerinya diurus oleh
”elite pemerintahan yang salah”.(HD,Azis)